Pagi itu, aku tengah bersiap-siap berangkat ke
Jakarta, yang jaraknya 325 Km dari rumahku di kebun tebu di Lampung Tengah.
Kami berangkat pukul 7, melewati Jalan Raya Lintas Timur Sumatra yang entah
kenapa penuh begal, ke arah Pelabuhan Bakauheni.
Perjalanan dari rumahku ke Pelabuhan Bakauheni sangat
melelahkan, karena jaraknya yang mencapai 200 Km sendiri, dengan waktu tempuh
sekitar 5 jam.
Di pelabuhan, banyak bapak-bapak paruh baya, yang
sedang berdiri di antara truk. Mungkin itu supir truk. Dari dulu, aku
bertanya-tanya: Mengapa masih banyak orang miskin yang berjualan tidak tertib
dan kadang, mungli atau membegal? Mungkin aku sudah dapat jawabannya sekarang;
ini mungkin berasal dari rakyat kaya, yang tidak mau bayar pajak, dan aku
sadar, mungkin aku salah satunya.
Tarif penyeberangan untuk mobilku adalah Rp
374.000,00, termasuk tarif semua orang yang ada di dalam mobil. Kapal-kapal
yang ada di sana sekarang sudah cukup bagus dibanding dulu. Waktu tempuh kapal,
yang jarak tempuhnya adalah 30 Km, sekitar 2 jam. Diluar musim liburan, waktu
tempuh bisa mencapai 4 jam, karena waktu bongkar muatnya diperpanjang (lebih
sulit bongkar muat diluar musim liburan, karena kebanyakan muatan kapal adalah
truk, bukan mobil pribadi yang lincah berbelok dan ringan).
Kami sampai di Pelabuhan Merak pukul.... sebentar. Oh
ya, pukul 14:00. Keluar dari kapal, kami langsung menuju ke Gerbang Tol Merak,
yang sudah ada sejak tahun 80-an. Di tol, kami bertemu dengan truk-truk yang
kadang muatannya overload. Kenapa bisa begitu? Aku bertanya-tanya, dan
jawabannya belum kutemukan sampai sekarang. Aku menduga ada keterlibatanku,
seperti pertanyaan diatas. Kami sampai di Jakarta, di rumah Mbah-ku, yang
terletak di antara gang-gang sempit. Lagi-lagi muncul pertanyaan baru, yaitu
mengapa masih ada gang-gang sempit, yang sangat rawan banjir? Mengapa orang-orang
disana tidak dipindah ke rusun saja? Belum kutemukan jawabannya.
Kami melanjutkan perjalanan ke Bali 2 minggu kemudian.
Kami tidak naik mobil Goldfren-keluargaku (begitu mobilku disebut namanya).
Kami memesan taksi online di depan kantorpos dekat rumah saudaraku. Sopir taksi
onlinenya sangat ramah. Sopir mengantar kami sampai Stasiun Pasar Senen.
Stasiun Pasar Senen sangat megah dan besar, mungkin
salah satu stasiun terbesar di Jakarta. Kami makan di salah satu restoran yang
ada disana. Makanannya cukup enak, sepadan untuk harga Rp 20.000,00.
Selang 20 menit, ada pengumuman; penumpang kereta api
Kertajaya diharap masuk ke ruang boarding.
Aku, serta keluargaku bergegas masuk kedalam ruang boarding, untuk menjalani
pemeriksaan tubuh dari narkoba dan barang kami di-sinar X. Mirip seperti di
pesawat, pikirku. Kami langsung menuju ke kereta kami. Uniknya, kereta kami
sangat panjang, ada 15 gerbong. Kebetulan, ayahku memilih gerbong paling
belakang, jadi agak repot untuk berjalan mencapai gerbong tersebut. Kereta kami
berangkat tepat sekali pukul 14:00, tidak kelebihan atau kekurangan 1 detik
pun. Keretanya ber-AC dan bagus walaupun kelas ekonomi, berbeda dengan dulu.
Kami langsung berangkat. Tiba-tiba, belum juga melewati zona elektrifikasi
Stasiun Cikarang, kereta kami menabrak, tidak tahu menabrak apa. Kereta kami di
sempat tertahan lama di sebuah stasiun di sekitar Bekasi, sampai masinis kereta
dipanggil kepala stasiun. Kami menunggu di dalam sekitar 1,5 jam.
Di hampir setiap stasiun pemberhentian, ada
pengumuman: “Kita sudah tiba di
stasiun xxx, penumpang di gerbong belakang nomor sekian sampai sekian diharap
maju ke gerbong depan nomor sekian sampai sekian”. Maklum, kereta kami sangat panjang, peron stasiun
tidak cukup.
Di sekitar Cepu, aku melihat bus tingkat Agramas, yang
anehnya sangat cepat, bahkan menyamai kereta kami. Sebetulnya, sangat berbahaya
mengendarai bus tingkat di jalan raya dengan kecepatan tinggi. Tetapi, supir
tidak menghiraukannya, mungkin karena kondisi jalan yang sepi.
Kami sampai di Stasiun Surabaya Pasar Turi pukul
02:30, yang seharusnya pukul 01:00. Kereta kami terlambat karena, jelas
penyebabnya adalah tragedi di Bekasi itu. Untung kami masih tiba dibawah pukul
03:00, karena harus mengejar kereta di Stasiun Surabaya Gubeng.
Kami keluar kereta. Anehnya, peron hanya cukup untuk
menampung gerbong 15 di pintu depan. Jadi, kami harus maju ke pintu depan (kami
duduk di dekat pintu belakang).
Keluar stasiun, ayahku memesan taksi online lagi.
Taksi onlinenya tidak datang-datang. Akhirnya, kami memutuskan untuk meneruskan
perjalanan naik bentor, yang tidak memiliki lampu dan sangat nyaman, walaupun
sempit. Sampai di stasiun tujuan, kami turun dan langsung memberikan
Rp.20.000,00 kepada supirnya yang sangat ramah dan santun. Muncul pertanyaan:
Kenapa orang daerah lebih ramah dari orang Jakarta? Mungkin karena orang
Jakarta sudah terpengaruh orang asing, sebagaimana telah kusebutkan di artikel
sebelumnya.
Kami langsung shalat, lalu melakukan boarding. Disini,
pemeriksaan tidak menggunakan sinar X, tidak seperti di stasiun keberangkatan
di Jakarta. Pukul 03:30, kereta kami yang bernama Kereta Api Probowangi datang.
Aku beserta keluarga langsung masuk kedalam kereta. Untungnya, kereta kami
terdiri dari 8 gerbong, jadi tidak sulit mencapai gerbong belakang. Untungnya
lagi, kami dapat gerbong tengah, jadi tidak menderita di gerbong belakang.
Sebenarnya, Probowangi adalah singkatan dari “Probolinggo Banyuwangi”yang merupakan jurusan lama kereta tersebut.
Kenapa ya, namanya tidak diganti menjadi “Surawangi”(Surabaya
Banyuwangi) karena jurusan kereta itu sekarang adalah Surabaya Banyuwangi?
Untuk tarif total dari Jakarta ke Banyuwangi adalah Rp 200.000,00 (144.000,00
ditambah 56.000,00).
Perjalanan memakan waktu 7
jam, dan disini relnya masih satu, bukan dua seperti di jalur KA Pantura
Jakarta-Surabaya, jadi, kami harus menemui beberapa persilangan. Treknya
terjal, kereta melewati beberapa terowongan panjang.
Sampai di Stasiun Banyuwangi
Baru pukul 11:30. Tidak ada hambatan seperti di perjalanan pertama. Kami
langsung keluar stasiun yang cukup besar tersebut.
Kami langsung menuju
pelabuhan dengan berjalan kaki, karena pelabuhan hanya berjarak 200 meter dari
stasiun. Disini, pelabuhannya cukup memiliki persamaan dengan yang di Pelabuhan
Bakauheni. Mulai dari pedagang yang banyak, truk-truk, bus, dan banyak lagi.
Bedanya, disini ada dermaga ponton dan konvensional, tidak seperti di Pelabuhan
Bakauheni, yang semuanya konvensional. Ada lagi, yaitu jalan menuju kapal yang
ada di dermaga konvensional yang sempit, panjang dan berkelok. Di Pelabuhan
Bakauheni, dermaga seperti itu hanya ada di dermaga 5.
Tarif penyeberangan Rp
8000,00 untuk 1 orang, tidak jauh dari tarif Pelabuhan Bakauheni. Ayahku
memilih kapal yang sandar di dermaga ponton, karena lebih dekat. Kapalnya,
sayang tidak sebagus rata-rata kapal di Pelabuhan Bakauheni. Mengapa? Tidak ada
sila ke 5 Pancasila disitu. Dan jawabannya lagi-lagi sama: Orang kaya yang
tidak mau bayar pajak, dan aku salah satunya.
Penyeberangan menghabiskan
waktu 1 jam. Jarak penyeberangan hanya 5 Km, jauh lebih dekat dari jarak
Pelabuhan Bakauheni-Pelabuhan Merak. Sampai disana, kami turun dari kapal dan
langsung menuju musala untuk shalat Ashar.
Kami menuju ke terminal
bus, dimana seseorang paruh baya memaksa kami untuk menaiki bus yang
dimilikinya. Kami pun langsung ikut, antara takut dan mau. Busnya adalah bus
kecil, yang berjurusan ke Terminal Mengwi Badung Bali. Perjalanan melewati
hutan di dekat Gilimanuk, mungkin kalau di Lampung adalah jalan yang menuju ke
Way Kambas. Sangat mirip. Yang berbeda hanya jalannya, di Way Kambas jalannya
jalan batu, sedangkan disini adalah jalan aspal yang sangat bagus. Perjalanan
menghabiskan waktu 3,5 jam, mungkin sama dengan dari rumahku ke kota Bandar
Lampung. Tarifnya 40.000,00, begitu yang aku dapat di sini.
Kami turun di sebuah rumah
makan, dan kami memakan sate. Sehabis itu, ayahku langsung memesan taksi online
ke penginapan, karena sudah malam. Penginapan yang sangat bagus di bawah bukit.
NB: Tulisan ini bukan bermaksud untuk menghina
siapapun yang ada di dunia ini. Jika ada yang salah, silakan komen dibawah.
No comments:
Post a Comment